us and the universe.
we can’t be expressed with any word, even the universe i know gives us its blessing. eyes locked, hands locked by red velvet.
FLUFF LIKE fluffiest FLUFF this one is like a cotton candy i promise. ransuya because why not. also, it’s written in lowercase. 8-)
mitsuya takashi itu tinggal di kota kecil. ia mengenal seluruh penduduk baik anak-anak ataupun orang dewasa.
tidak, mitsuya bukanlah orang penting seperti walikota atau jajaran orang penting lainnya. ia hanya anak sulung pemilik toko roti yang kebetulan juga membuka toko baju hasil jahitannya di ruko sebelah.
dan kemarin, laki-laki yang akrab disapa takashi ini mengetahui kalau rumah kawan lamanya—kawan sejak kecil yang juga merangkap sebagai cinta pertama si sulung mitsuya kembali ditempati.
mitsuya penasaran, yang menempati rumah itu masih keluarga haitani atau bukan karena saat ia melihatnya kemarin, mitsuya merasa asing dengan dua pemuda yang usianya tidak terlalu jauh dari miliknya.
“hi, taka.”
mitsuya terkejut ketika nama panggilannya disebut saat ia masih hanyut dalam lamunan siang hari di sudut kursi toko roti milik ibu. kepalanya ia tolehkan, menemukan sosok laki-laki yang lebih jangkung darinya (sepertinya) dan ia baru melihat wajah ini untuk pertama kalinya—ah, tidak, kedua kalinya.
alis lelaki berusia dua puluh empat itu menaik satu, kedua netra sewarna lavender milik si cantik menatap lurus pada violet sang orang asing dengan bingung.
oh, rambut mereka berdua sama persis! bedanya milik sang orang asing ini memiliki warna light lilac.
“oh, lucu banget rambut kita samaan,” ujar si jangkung lagi, tidak memberi jawaban akan jawaban dari wajah bingung mitsuya. satu tangan laki-laki itu menyentuh kursi di depan mitsuya, “boleh duduk?” tanyanya dengan sopan.
mitsuya mengangguk kecil, karena mau bagaimana ia tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang baru selain pekerjaan, mitsuya penasaran akan sosok laki-laki yang sudah duduk di depan matanya.
“kamu betulan gak inget aku siapa?” laki-laki itu bertanya, membuat mitsuya menggigit bibir bawahnya pelan karena ia tidak suka dengan situasi seperti ini.
“ada nama satu orang di pikiranku tapi aku takut salah tebak,” balas mitsuya dengan ragu.
“sebut aja, aku gak akan marah kalau kamu salah sebut nama orang atau bahkan gak inget aku.”
mitsuya menatapnya ragu, bibirnya mulai terbuka dan menyebutkan nama yang selalu ada di pikirannya—entahlah, sejak kecil mitsuya selalu memikirkan laki-laki ini entah karena ia memang mengidolakannya atau ia memang jatuh cinta sejak kecil.
“kak ran, bukan?”
si pemilik netra violet tertawa dengan ringan, kedua tangan miliknya saling menepuk. ia mengangguk kecil dengan senyuman tetap terpatri di wajah.
“betul, anak pinter,” satu tangan ran terangkat guna untuk mengusap surai si cantik. “i’m back, taka. maaf aku pergi terlalu lama.”
—
“sejak kapan rambut kak ran berubah jadi gini?” mitsuya menoleh ke arah kanan, tepat dimana dan duduk.
kali ini keduanya tengah berada di taman bermain, lebih tepatnya duduk di ayunan yang selalu menjadi spot kesukaan keduanya.
ran menatap langit malam dengan serius, berusaha mengingat kapan ia merubah surainya menjadi dwiwarna dengan model dan warna seperti ini.
“kalau gak salah ... satu tahun lalu. waktu itu aku keinget kamu, istilahnya apa ya ... kangen? dan akhirnya aku potong rambut juga ganti warna rambut yang mirip-mirip sama rambut kamu,”
kedua telinga mitsuya memanas seketika saat ran menyebutkan kata rindu dengan santainya. malam ini bagi orangain adalah malam yang dingin, namun bagi mitsuya malam ini sedikit panas.
“aku juga warnain jadi hitam tahun lalu. lucu ya, samaan.”
hubungan mitsuya dan ran itu unik. sejak kecil mereka selalu bersama karena suatu kebetulan-kebetulan yang terus muncul layaknya semesta memang ingin melihat ran dan mitsuya bersama-sama. mereka berdua terus bersama sampai suatu hari ran menghilang dan mereka tidak sempat bertukar nomor ponsel atau e-mail.
mitsuya juga sempat mencari akun sosial media milik ran namun ran itu sulit sekali untuk ditemukan. dan pada akhirnya, mitsuya menyerah dan memutuskan untuk menunggu ran untuk pulang.
ran dan mitsuya sama-sama terdiam, menikmati angin malam juga memandang langit malam yang dipenuhi oleh ratusan ribu bintang bertaburan dengan indah. sepi, namun hangat.
“kak ran mau pergi lagi dari kota ini?” tanya mitsuya tiba-tiba.
ran tersenyum, kepalanya mengangguk kecil. ia menoleh, menatap mitsuya yang sudah tertunduk dengan lesu karena jawaban kecil yang sudah ran berikan padanya.
“aku punya kerjaan di tempat aku tinggal selama hampir sepuluh tahun ini,” haitani ran berdiri dari duduknya, berjongkok di depan mitsuya yang menunduk dengan tangan di dalam jaket. ran mendongak, mencari wajah mitsuya dari bawah. “kamu mau gak, ikut aku pergi ke tempat lain?”
“eh?”
“gak mau?”
mitsuya menggelengkan kepalanya pelan. “bukan gitu,” ia mengeluarkan tangan dari saku jaket dan melambaikan tangannya pelan, “maksudku ... kenapa aku? terus aku disana gimana?”
ran tersenyum, hangat sekali. “aku maunya sama kamu,” ia terkekeh pelan. “aku udah bicarain ini sama ibu minggu lalu terus rasanya mungkin, ini bakalan kedengeran super aneh dan nekat buat kamu tapi, kamu mau tinggal sama aku dan terus bareng-bareng sama aku?”
mitsuya tidak mengerti dengan segala kalimat yang baru saja ran sebutkan. ibu? tinggal bersama?
“maksudku,” ran mengambil nafas dalam. “kamu mau nikah sama aku?”
mitsuya melotot. “orang gila.”
“i am,”
“tapi aku mau, sih.”
bagaimana ya, kalau bercerita tentang ran dan mitsuya, tidak akan ada kata yang tepat untuk mereka berdua. walau sudah lama tidak berhubungan juga terpisah jarak selama hampir sepuluh tahun, keduanya tetap merasakan hal yang sama. tidak ada yang berubah sejak terakhir kali mereka bertemu, layaknya semesta melindungi kenangan juga perasaan keduanya dengan sempurna.
semesta berkata kalau mitsuya dan ran memang ditakdirkan untuk bersama.
2021, a part of songblefics