Eyes Locked, Hands Locked.

domestic!Fluff, established relationship, pokoknya gemes lucu no angst. elementary school art teacher!takashi and news anchor!seishu.

non-betaed.


Seishu pulang dengan wajah kusut serta pakaian yang saat ini sama sekali tidak terlihat rapi. Kemejanya ia keluarkan dengan acak, dasinya sudah longgar, tas kerjanya ia jinjing dengan malas, pipinya sedikit memerah karena lelah dan terasa panas.

Takashi yang sejak tadi sudah menunggu kepulangan Seishu bergerak menghampiri Seishunya dan memberikan yang lebih tua satu pelukan selamat datang.

“Lho, badan Kak Sei anget,” ujar Takashi sembari menarik tubuhnya menjauh. Ia berjinjit sedikit—banyak, menangkup wajah Seishu dan mendekatkan kening Seishu pada miliknya sendiri. Tidak butuh waktu yang lama, Takashi berhasil merapatkan kening keduanya. “Kakak demam.”

Seishu terkekeh pelan ketika melihat tingkah laku Takashi yang terkadang terlihat seperti anak kecil—atau lebih tepatnya memperlakukan Seishu layaknya Seishu adalah anak kecil. Seishu tahu jelas kalau trik barusan sering sekali digunakan untuk memastikan demam pada anak-anak karena kebanyakan anak-anak takut dengan termometer.

Keduanya melangkah ke arah ruang bersantai yang cukup berisik karena Takashi tengah menyalakan televisi karena ia tadi melihat acara berita yang Seishu bawakan.

“Kenapa tadi aku waktu nonton berita gak sadar kalau Kak Sei pucet,” gumamnya pelan. Ia membiarkan Seishu duduk di sofa—sebetulnya menyuruh yang lebih tua untuk tiduran, tetapi Seishu bilang ia tidak ingin berbaring. “Kakak mau makan dulu atau mau mandi dulu?”

Make up, sayangku.”

Seishu tertawa pelan, tangan kanannya menarik Takashi agar duduk disampingnya. Dan setelahnya ia bergerak untuk membuka jas serta dasi yang masih terpasang dengan acak di leher.

“Aku mau dengerin kamu cerita tentang hari ini,” ujar Seishu seraya menatap yang lebih muda tepat di mata. “eh, harusnya kita gak deket-deket, nanti kamu ikutan demam.”

Takashi tertawa, tangannya meraih tangan Seishu dan menggenggamnya erat. “Aku kuat, gak akan demam,” balas Takashi dibarengi dengan satu kecupan ia bubuhnya tepat di atas punggung tangan Seishu yang hangat. “tapi tetep aja, Kak Sei harus makan dulu. Aku suapin sambil cerita, ya?”

Seishu mengangguk pelan seraya mendekatkan wajahnya pada wajah Takashi yang sudah siap untuk pergi membawa satu porsi makan malam. Ia memberi Takashinya satu kecupan singkat di bibir.

“Gak boleh cium-cium, nanti demamnya dateng ke aku.”

“Katanya tadi kamu kuat?”

Takashi terkekeh, satu tangan lelaki itu bergerak mengusak surai Seishu yang sudah sedikit memanjang.

“Bercanda, Kak Sei boleh cium aku kapan aja.” ujarnya dengan kurva tipis terlihat di bibirnya yang selalu terasa manis.

Seishu kalau sedang sakit level manjanya akan meningkat sangat banyak. Ia tidak ingin lama-lama terpisah dari Takashi—kecuali jika ia berada di posisi sulit seperti tadi kala ia bekerja, ia paling tidak suka kalau ia memulai masa tidak enak badan di kantor atau tidak jika ia tiba-tiba dipanggil untuk bekerja. Seishu akan terus meminta Takashi berada disisinya selama ia sakit.

Takashi tidak pernah merasa keberatan mengurus sisi manja yang lebih tua. Ia sudah berjanji pada dunia juga Tuhan kalau ia akan mengurus Seishu hingga nanti; hingga nafasnya terhenti, begitu juga dengan Seishu. Takashi senang memberi Seishu rengkuhan hangat, memegang tangannya sampai terlelap atau mengusap peluh di kening ketika yang lebih tua tengah tertidur dengan pulas.

Takashi kembali dengan satu mangkuk sup ayam lengkap dengan sedikit nasi yang sengaja ia satukan kedalam sup ayam buatannya. Seishu senang memakannya dengan gaya seperti ini. Nasinya tidak banyak.

“Kak Sei, ayo makan.” Takashi berkata ketika tubuh kecilnya sudah mengambil posisi tepat di samping Seishu. Sendok berwarna silver itu ia arahkan kepada Seishu, memintanya untuk segera menyantap satu sendok sup.

Sembari menyuapi Seishu, si pemilik surai hitam pekat itu bercerita tentang bagaimana harinya berjalan dan juga ia menceritakan pendapatnya tentang hari yang terdengar menyenangkan di telinga Seishu.

Takashi bercerita kalau pagi tadi ketika ia mengajar di kelas dua, beberapa anak mendatanginya dengan kertas lipat di tangan mereka masing-masing dengan raut wajah bingung dan lucu yang tidak dapat Takashi lupakan, mereka menanyakan Takashi tentang bagaimana cara melipat ini agar menjadi burung. Takashi memberitahu Seishu kalau beberapa dari mereka memanggilnya dengan Mr. Taka dan Seishu sedikit terkejut.

“Kenapa mereka gak panggil kamu Mr. Mitsuya kayak murid yang lain?” tanya Seishu dengan alis yang bertaut.

Takashi tertawa lepas, tidak habis pikir dengan apa yang baru saja ia dengar. Jemari lentik miliknya ia angkat dan arahkan pada wajah Seishu, memberi si pembawa berita usapan lembut di pipi.

“Namanya juga anak-anak, ada beberapa anak yang gak bisa sebut nama belakangku dengan jelas. Jadi, aku bilang ke mereka kalau mereka bisa panggil aku Taka,” jelasnya sembari memberi Seishu satu suapan terakhir. “sekarang waktunya minum dan mandi.”

Seishu menegak air mineral di gelas itu dengan satu kali minum, raut wajahnya terlihat lucu bagi Takashi yang sedari tadi memperhatikan.

“Nama belakangmu juga udah ganti.” gumam Seishu seraya memberi Takashi gelas miliknya.

Takashi mengangguk kecil. “Iya, nama belakangku sekarang sama persis kayak punya Kakak,” katanya dengan senyum di wajah. Ia mengulurkan tangan. “Kak Sei mandinya jangan lama-lama, ya. Jangan pakai air dingin juga, mau aku siapin dulu air hangatnya?” tanya Takashi dengan kepala yang sedikit memiring.

Seishu meraih uluran tangan Takashi dan segera berdiri kala tangan yang lebih muda menariknya untuk bangun. Ia mengulas senyum jahil yang Takashi bisa tebak kemana arah pembicaraan mereka setelah ini.

“Gimana kalau kamu aja yang mandiin aku?”

Tuh, 'kan.

Takashi mendengus. Jemari miliknya bergerak menuju pinggang Seishu dan memberi laki-laki itu cubitan pelan disana.

“Gak mau. Aku masih harus siapin baju tidur Kak Seishu, aku juga harus cuci piring dan yang paling penting aku belum makan,” ujar Takashi seraya mengangkat piring di tangan ketika ia mengucapkan cuci piring. “oh, satu lagi, Kak Seishu suka gak mau mandinya cepet selesai, aku males.”

Seishu memberi satu cubitan di masing-masing pipi kanan dan kiri Takashi dengan pelan dan halus. Kekehannya mulai terdengar ketika netra zamrud gelap milik Seishu menangkap sosok Takashi yang terlihat jengkel bukan main.

“Bercanda, sayang. Habis ini kamu makan yang banyak, ya, maaf aku gak bisa nemenin kamu makan dan bantuin kamu cuci piring. Nanti kalau aku udah sembuh, aku yang kerjain semuanya.”

Seishu membawa satu tangan Takashi yang kosong dan menggenggam tangan tersebut dengan erat. Tangan milik Seishu yang hangat dengan pelan memberi usapan di punggung tangan. Kedua mata mereka terkunci pada iris satu sama lain, tangan mereka juga saling mengunci dengan erat.

Keduanya mengulas senyum hangat, memberi masing-masing afeksi tanpa banyak aksi dan kalimat dari bilah bibir keduanya.

Baik Seishu dan Takashi tahu dengan jelas kalau perasaan mereka akan selalu tenang jika mereka bersama-sama.

Seishu memang belum menceritakan tentang harinya yang mungkin terdengar tidak menyenangkan kalau dilihat dari kondisi Seishu yang terlihat berantakan ketika pulang tadi, tetapi Takashi tahu kalau Seishu sudah merasa lebih baik dan ia akan menceritakannya sebelum tidur atau mungkin, esok hari.

Mereka adalah rumah untuk satu sama lain. Takashi itu tempat Seishu untuk pulang, begitu pula dengan Seishu yang menjadi rumah paling nyaman bagi Takashi.

I love you.

Entah siapa yang duluan menyatakan perasaan secara lantang di antara mereka, setelahnya Takashi dan Seishu hanya tertawa dengan nyaring karena tanpa diutarakan juga, mereka sudah tahu dengan perasaan masing-masing.


2021.